Malam itu kurasa sangat sepi. Sepi dan sunyi. Kuingat-ingat hari itu adalah malam senin, aku berjalan tak terarah. Mungkin aku saat itu, bagaikan raga tanpa jiwa. Mayat hidup, itulah aku malam itu. Kaki bagaikan melangkah dengan kehendaknya sendiri. Sampai pada sebuah komplek pertokoan, aku menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada seorang pun. Hanya aku. Untungnya lampu-lampu paham. Mereka masih bersinar terang, meski cahayanya tidak merasuk ke hatiku. Di bawah langit merah membaradengan petir yang terus-menerus menggemuruh, ku lihat handphone tua ku. Waktu menunjukkan pukul 02.15 dini hari. Aku masih tak peduli kantuk yang menyerang, kaki-kaki ku sangat kekeh untuk melangkah. “Aku benci orang tua ku” Sebuah kalimat yang menyeramkan itu dengan mudah terlontar dari mulutku. Aku sangat yakin, tidak begitu maksudku sebenarnya. “Andai saja ibu dan ayah paham, bahwa aku tidak suka jika mereka terus-menerus nyinyir tentang sikapku menjalani hidup. Mereka terus menerus menuntut...