Malam itu kurasa sangat sepi. Sepi dan sunyi.
Kuingat-ingat hari itu adalah malam senin, aku
berjalan tak terarah. Mungkin aku saat itu, bagaikan raga tanpa jiwa. Mayat
hidup, itulah aku malam itu.
Kaki bagaikan melangkah dengan kehendaknya sendiri.
Sampai pada sebuah komplek pertokoan, aku menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak
ada seorang pun. Hanya aku. Untungnya lampu-lampu paham. Mereka masih bersinar
terang, meski cahayanya tidak merasuk ke hatiku.
Di bawah langit merah membaradengan petir yang
terus-menerus menggemuruh, ku lihat handphone tua ku. Waktu menunjukkan pukul
02.15 dini hari. Aku masih tak peduli kantuk yang menyerang, kaki-kaki ku
sangat kekeh untuk melangkah.
“Aku benci orang tua ku”
Sebuah kalimat yang menyeramkan itu dengan mudah
terlontar dari mulutku. Aku sangat yakin, tidak begitu maksudku sebenarnya.
“Andai saja ibu dan ayah paham, bahwa aku tidak suka
jika mereka terus-menerus nyinyir tentang sikapku menjalani hidup. Mereka terus
menerus menuntutku untuk menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Mereka bagai
mengekangku, tidak membiarkan aku menentukan jalan hidupku sendiri. Dan aku
benci itu. Aku benci mereka, sangat!”
Lagi, untuk yang kesekian kali, kata-kata menyeramkan
kembali terlontar dengan mudahnya dari mulutku. Dalam hal penuntutan yang
terus-menerus ayah dan ibu lakukan padaku, aku serius mengatakannya bahwa aku
tidak menyukai itu. Tetapi mengenai rasa benci tentu saja tidak, tidak sedikit
pun.
“bug!”
Aku tersandung batu cukup besar. Aku terjatuh dan
menyebabkan luka pada lututku. Malam itu, aku benar-benar ingin mengutuk dunia
rasanya. Bahkansebuah batu mengajak bercanda di saat tidak tepat. Namun batu
itu sekilas menyadarkanku. Setidaknya setelah tersandung batu, aku cukup merasa
bersama jiwaku. Tidak seperti mayat hidup yang kebingungan.
Dengan rasa perih aku berjalan. Terus mengoceh
sendirian, tanpa ada seorang pun lewat. Tetapi aku bersyukur darah pada lututku
masih bisa diajak kompromi; Tidak terlalu banyak yang mengalir.
Hati yang penuh emosi dan perasaan bercampur aduk
membuatku semakin tertekan. Seketika airmataku deras, diikuti hujan yang
tiba-tiba deras pula. Aku menangis di emperan toko yang tutup, masih dengan
luka pada lututku. Aku merasa sangat terbuang. Aku merasa sebagai orang yang
paling tidak beruntung.
Aku menangis sambil bergumam. Sendirian.
“Dik, bangun”
Samar-samar aku membuka mata perlahan. Sinar matahari
cukup menyilaukan mata. Aku terkejut mendapati pria setengah baya dengan gamis
dan peci putih, sedang berdiri di hadapanku.
“Ayah? Dimana ini? Apa saya sudah mati?”
“Innalillahi. Tentu saja belum, dik. Adik sekarang
berada di komplek ruko Tarumajaya. Adik tertidur pulas tepat di depan toko
saya.”
Aku terdiam sejenak.
“Ini roti dan susu untuk adik. Tadi, saya menyuruh
istri saya untuk menyiapkannya sesaat setelah saya membuka pintu ruko dan
melihat adik tertidur di sini”
“Terima kasih banyak, pak”
“Iya, sama-sama, Dik. Oh iya, tadi kamu memanggil saya
ayah. Memangnya ayahmu dimana, Dik?”
Wajahku memerah padam. Aku tidak menjawab pertanyaan
itu. Airmataku tak terbendung lagi. Aku mulai memakan roti itu sambil menangis.
Aku teringat sosok ayah dan ibuku.
“Kenapa, Dik?”
Dengan menundukkan pandangan, sambil duduk aku meminta
maaf kepada bapak itu karena beberapa pertanyaannya tidak bisa kujawab.
Pagi itu adalah hari ke tiga, dimana aku tidak pulang.
Perdebatan panjang antara aku dan orangtuaku menjadi alasan aku pergi
meninggalkan rumah.
Aku merasa serba salah. Teringat betapa menyebalkannya
perdebatan itu, teringat pula bagaimana kasih sayang mereka menyelimutiku
hingga sekarang.
Sambil menangis.. aku berlari pulang.
Komentar
Posting Komentar