Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Bertemu Tiga September

Malam ini, cuaca tak terlalu dingin ataupun panas. Berbeda dengan biasanya, daerah Priok memang bagai sebuah kewajiban kalau rada ‘gerah’. Sudah sekitar pukul 00.15 dan aku masih sibuk dengan laptopku. Hari yang berganti ini memang tak asing, bukan karena sekarang adalan senin – minggu. Melainkan, aku paham betul bahwa hari ini bertepatan dengan tanggal kelahiran seseorang yang menjadi tonggak keluargaku. Ialah ayah. Seorang laki-laki yang seharusnya paling ku hormati di antara keluargaku. Aku masih belum mengucapkan apa pun kepada ayah pada menit ini. Bahkan aku tak menyiapkan hadiah untuknya. Aku sadar bahwa tak seharusnya malu untuk sekedar mengucapkan do’a secara langsung di depan ayah. Tak ada salahnya, apalagi ini adalah hari spesialnya. Seketika aku teringat akan batas umur ayah, yang entah akan benar-benar terjadi atau tidak. Namun harapku, semoga ayah bisa di sini lebih lama. Bersamaku, bersama ibu, dan kedua adikku. Kira-kira pukul 00.19, aku menghampiri a

Antagonis: Realita peran kehidupan

Aku tidak pandai menulis bak penulis cerpen, apalagi novelis. Aku belum suka   pada deskripsi suasana yang begitu detail. Sebab itu maka, tulisan ini tak diawali dengan suasana rintik hujan, atau bisingnya angin Jakarta di malam penutupan Asian Games ini. *** Besok, aku tak tahu apakah aku masih bisa menjemput hari. Sebab malam ini terlalu gelap. Semester tiga yang kelam, dilengkapi dengan semester empatku yang gelap. Sempurna sudah. Oh iya, sadarkah kamu tentang dirimu itu? pernah atau seringkah kamu menanyakannya? Aku sendiri kadang takut saat memikirkanku. Bisa begitu, yaa. *** Waktu sudah menunjukkan pukul 23.06 dan seharusnya aku beranjak tidur. Sebab meski tak tahu aku masih di sini atau tidak, tapi rencananya, esok adalah hari H acaraku dan kawan-kawan. Tapi entah, pikiranku masih mengawang-awang. “Bagaimana bisa tidur jika kata-kata itu tak berwadah? Tak dituang?” Kalau aku, sulit sekali jika membiarkan kata itu diam membeku dan beranak-pinak hanya di dalam o

Pulang

Malam itu kurasa sangat sepi. Sepi dan sunyi. Kuingat-ingat hari itu adalah malam senin, aku berjalan tak terarah. Mungkin aku saat itu, bagaikan raga tanpa jiwa. Mayat hidup, itulah aku malam itu. Kaki bagaikan melangkah dengan kehendaknya sendiri. Sampai pada sebuah komplek pertokoan, aku menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada seorang pun. Hanya aku. Untungnya lampu-lampu paham. Mereka masih bersinar terang, meski cahayanya tidak merasuk ke hatiku. Di bawah langit merah membaradengan petir yang terus-menerus menggemuruh, ku lihat handphone tua ku. Waktu menunjukkan pukul 02.15 dini hari. Aku masih tak peduli kantuk yang menyerang, kaki-kaki ku sangat kekeh untuk melangkah. “Aku benci orang tua ku” Sebuah kalimat yang menyeramkan itu dengan mudah terlontar dari mulutku. Aku sangat yakin, tidak begitu maksudku sebenarnya. “Andai saja ibu dan ayah paham, bahwa aku tidak suka jika mereka terus-menerus nyinyir tentang sikapku menjalani hidup. Mereka terus menerus menuntut