Aku tidak pandai menulis bak penulis cerpen, apalagi novelis.
Aku belum suka pada deskripsi suasana yang
begitu detail. Sebab itu maka, tulisan ini tak diawali dengan suasana rintik
hujan, atau bisingnya angin Jakarta di malam penutupan Asian Games ini.
Namun, ini juga mengusikku.
Namun pada dasarnya, inginku, ialah hubungan yang baik di semua tempat.
Tapi sayang, aku terlalu memusingkan kata-kata orang. Dan selalu begitu.
Di sisi lain, sambil memerankan tokoh antagonis itu, aku kerap terbayang bagaimana senyumku sangat mudah merekah di sana. Meski itu adalah kesulitan jika harus dilakukan di sini.
Inginku, ialah hubungan yang baik di semua tempat.
Jika aku berkeinginan seperti ini, maka seberapa jahat dan liarnya kah aku?
Masihkah harus mengamini kata-kata mereka?
EH.
Sedang aku, tipe orang yang cenderung merasa bebas jika seorang diri.
Hal ini membuatku bertanya, “Apa masih pantas aku disebut beriman? Sebab bukankah, jika seseorang itu beriman, maka ia akan tetap percaya bahwa Tuhan masih mengawasinya?” Artinya, memang tidak ada kebebasan bagi manusia itu sendiri pada dasarnya.
Lalu bagaimana denganku? Masih pantaskah disebut beriman jika aku merasa bebas atas diriku saat sendiri? Bukankah aku harusnya menganggap bahwa diri ini adalah sarana untuk menuju-Nya dan ini hanyalah kerangka fisik titipan Tuhan? Lantas mengapa aku merasa bebas dan berkuasa atas diriku sendiri?
Entah. Agaknya ini rumit.
Pada akhirnya pun, pikiranku kerap bertabrakan satu sama lain.
Mungkin sebenarnya ada, hanya terlalu malas aku mencarinya. Sehingga rasanya aku tak mampu menangkap cahaya-cahaya kebenaran dalam diri, untuk diri.
***
Besok, aku tak tahu apakah aku masih bisa menjemput hari.
Sebab malam ini terlalu gelap. Semester tiga yang kelam, dilengkapi dengan
semester empatku yang gelap. Sempurna sudah.
Oh iya, sadarkah kamu tentang dirimu itu?
pernah atau seringkah kamu menanyakannya?
pernah atau seringkah kamu menanyakannya?
Aku sendiri kadang takut saat memikirkanku. Bisa begitu, yaa.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.06 dan seharusnya aku
beranjak tidur. Sebab meski tak tahu aku masih di sini atau tidak, tapi
rencananya, esok adalah hari H acaraku dan kawan-kawan. Tapi entah, pikiranku
masih mengawang-awang.
“Bagaimana bisa tidur jika kata-kata itu tak berwadah? Tak
dituang?”
Kalau aku, sulit sekali jika membiarkan kata itu diam membeku
dan beranak-pinak hanya di dalam otak saja. Ia butuh dituang, atau kasarnya,
dibuang.
***
Berbicara tentang diriku tadi, tentu saja aku percaya bahwa
ini juga terjadi pada semua orang. Agama sudah merasuk ke dalam pikiran orang
Indonesia pada umumnya, utamanya tentang kesucian. Tak ada manusia yang
benar-benar bersih, katanya. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Semua orang,
termasuk diriku.
Aku paham akan diriku lebih dari semua orang. Mungkin kamu
pun begitu.
Aku selalu percaya bahwa tiap-tiap orang menjadi dirinya
sesuai lingkungannya. Saat ia di sini, ia begini. Saat dia di sana, ia begitu. Dan
saat ia sendiri dengan dirinya, ia menjadi pribadi yang lain lagi. Hal ini,
kupikir merupakan hal wajar jika terjadi. Ini adalah wujud manusia yang
beradaptasi dengan lingkungannya.
Namun, ini juga mengusikku.
Sebab di sana, aku bisa menjadi orang yang ‘seolah’ baik. (Entah
aku memang baik atau tidak, aku tak tahu. Sebab itu aku ketik saja ‘seolah’). Di
sini, aku seperti monster. Dan jika sendiri, aku ‘liar’, atau lebih tepatnya ‘merasa
bebas’.
Namun pada dasarnya, inginku, ialah hubungan yang baik di semua tempat.
Inginku, menjadi seseorang yang baik.
Tapi sayang, aku terlalu memusingkan kata-kata orang. Dan selalu begitu.
Jika mereka bilang aku jahat, malah seperti sebuah pengaminan
untukku. Yang lama-kelamaan aku pun percaya bahwa aku seorang yang jahat. Pada
akhirnya, hubunganku di sini menjadi tidak baik. Selalu begitu. Sebab aku,
memerankan tokoh antagonis. Di sini, aku selalu percaya, diriku adalah seonggok
daging yang dipercikkan sifat antagonis itu.
Di sisi lain, sambil memerankan tokoh antagonis itu, aku kerap terbayang bagaimana senyumku sangat mudah merekah di sana. Meski itu adalah kesulitan jika harus dilakukan di sini.
Inginku, ialah hubungan yang baik di semua tempat.
Jika aku berkeinginan seperti ini, maka seberapa jahat dan liarnya kah aku?
Masihkah harus mengamini kata-kata mereka?
EH.
Ini terlalu pusing.
Namun peranku sebagai sang antagonis masih belum selesai.
Sebab tidak hanya di sini saja. Melainkan kata ‘liar’ atau ‘bebas’ dalam
kesendirianku, kusebut sebagai peran antagonis juga. Hehe.
***
Sekarang, lagu Kupu-Kupu dari Ari-Reda pun selesai kudengar, berganti
menjadi lagu Lanskap. Dan tulisan ini pun belum selesai.
Kesendirian, mungkin bisa membuat sebagian orang bahagia. Namun
sebagian lainnya tidak. Ada yang merasa bebas jika sendiri, ada yang merasa
terkekang.
Sedang aku, tipe orang yang cenderung merasa bebas jika seorang diri.
Hal ini membuatku bertanya, “Apa masih pantas aku disebut beriman? Sebab bukankah, jika seseorang itu beriman, maka ia akan tetap percaya bahwa Tuhan masih mengawasinya?” Artinya, memang tidak ada kebebasan bagi manusia itu sendiri pada dasarnya.
Sebab jika manusia ingin kebaikan akhir, maka manusia harus
menyaring apa dan mana yang harus dilakukan tanpa membeda-bedakan subjek,
tempat, waktu, dan suasana.
Orang beriman versi agama, akan selalu berhati-hati pada tiap-tiap
pikiran, kata, dan juga hati serta perbuatannya.
Lalu bagaimana denganku? Masih pantaskah disebut beriman jika aku merasa bebas atas diriku saat sendiri? Bukankah aku harusnya menganggap bahwa diri ini adalah sarana untuk menuju-Nya dan ini hanyalah kerangka fisik titipan Tuhan? Lantas mengapa aku merasa bebas dan berkuasa atas diriku sendiri?
Entah. Agaknya ini rumit.
Pada akhirnya pun, pikiranku kerap bertabrakan satu sama lain.
Seperti tesis dan antithesis yang Hegel bilang. Namun
sayangnya, dalam hal ini belum ada sintesa yang kutemukan. Masih belum.
Mungkin sebenarnya ada, hanya terlalu malas aku mencarinya. Sehingga rasanya aku tak mampu menangkap cahaya-cahaya kebenaran dalam diri, untuk diri.
Mungkin esok, atau lain hari. Aku bisa menjemput
kebenaran-kebenaran titipan Tuhan. Entah di sini, di sana, atau di mana pun. Semoga saja.
Komentar
Posting Komentar