Langsung ke konten utama

Antagonis: Realita peran kehidupan

Aku tidak pandai menulis bak penulis cerpen, apalagi novelis. Aku belum suka  pada deskripsi suasana yang begitu detail. Sebab itu maka, tulisan ini tak diawali dengan suasana rintik hujan, atau bisingnya angin Jakarta di malam penutupan Asian Games ini.
***
Besok, aku tak tahu apakah aku masih bisa menjemput hari. Sebab malam ini terlalu gelap. Semester tiga yang kelam, dilengkapi dengan semester empatku yang gelap. Sempurna sudah.
Oh iya, sadarkah kamu tentang dirimu itu?
pernah atau seringkah kamu menanyakannya?
Aku sendiri kadang takut saat memikirkanku. Bisa begitu, yaa.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.06 dan seharusnya aku beranjak tidur. Sebab meski tak tahu aku masih di sini atau tidak, tapi rencananya, esok adalah hari H acaraku dan kawan-kawan. Tapi entah, pikiranku masih mengawang-awang.
“Bagaimana bisa tidur jika kata-kata itu tak berwadah? Tak dituang?”
Kalau aku, sulit sekali jika membiarkan kata itu diam membeku dan beranak-pinak hanya di dalam otak saja. Ia butuh dituang, atau kasarnya, dibuang.
***
Berbicara tentang diriku tadi, tentu saja aku percaya bahwa ini juga terjadi pada semua orang. Agama sudah merasuk ke dalam pikiran orang Indonesia pada umumnya, utamanya tentang kesucian. Tak ada manusia yang benar-benar bersih, katanya. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Semua orang, termasuk diriku.
Aku paham akan diriku lebih dari semua orang. Mungkin kamu pun begitu.
Aku selalu percaya bahwa tiap-tiap orang menjadi dirinya sesuai lingkungannya. Saat ia di sini, ia begini. Saat dia di sana, ia begitu. Dan saat ia sendiri dengan dirinya, ia menjadi pribadi yang lain lagi. Hal ini, kupikir merupakan hal wajar jika terjadi. Ini adalah wujud manusia yang beradaptasi dengan lingkungannya.

Namun, ini juga mengusikku.
Sebab di sana, aku bisa menjadi orang yang ‘seolah’ baik. (Entah aku memang baik atau tidak, aku tak tahu. Sebab itu aku ketik saja ‘seolah’). Di sini, aku seperti monster. Dan jika sendiri, aku ‘liar’, atau lebih tepatnya ‘merasa bebas’.

Namun pada dasarnya, inginku, ialah hubungan yang baik di semua tempat.
Inginku, menjadi seseorang yang baik.

Tapi sayang, aku terlalu memusingkan kata-kata orang. Dan selalu begitu.
Jika mereka bilang aku jahat, malah seperti sebuah pengaminan untukku. Yang lama-kelamaan aku pun percaya bahwa aku seorang yang jahat. Pada akhirnya, hubunganku di sini menjadi tidak baik. Selalu begitu. Sebab aku, memerankan tokoh antagonis. Di sini, aku selalu percaya, diriku adalah seonggok daging yang dipercikkan sifat antagonis itu.

Di sisi lain, sambil memerankan tokoh antagonis itu, aku kerap terbayang bagaimana senyumku sangat mudah merekah di sana. Meski itu adalah kesulitan jika harus dilakukan di sini.

Inginku, ialah hubungan yang baik di semua tempat.

Jika aku berkeinginan seperti ini, maka seberapa jahat dan liarnya kah aku?
Masihkah harus mengamini kata-kata mereka?

EH.
Ini terlalu pusing.
Namun peranku sebagai sang antagonis masih belum selesai. Sebab tidak hanya di sini saja. Melainkan kata ‘liar’ atau ‘bebas’ dalam kesendirianku, kusebut sebagai peran antagonis juga. Hehe.
***
Sekarang, lagu Kupu-Kupu dari Ari-Reda pun selesai kudengar, berganti menjadi lagu Lanskap. Dan tulisan ini pun belum selesai.
Kesendirian, mungkin bisa membuat sebagian orang bahagia. Namun sebagian lainnya tidak. Ada yang merasa bebas jika sendiri, ada yang merasa terkekang.

Sedang aku, tipe orang yang cenderung merasa bebas jika seorang diri.

Hal ini membuatku bertanya, “Apa masih pantas aku disebut beriman? Sebab bukankah, jika seseorang itu beriman, maka ia akan tetap percaya bahwa Tuhan masih mengawasinya?” Artinya, memang tidak ada kebebasan bagi manusia itu sendiri pada dasarnya.
Sebab jika manusia ingin kebaikan akhir, maka manusia harus menyaring apa dan mana yang harus dilakukan tanpa membeda-bedakan subjek, tempat, waktu, dan suasana.
Orang beriman versi agama, akan selalu berhati-hati pada tiap-tiap pikiran, kata, dan juga hati serta perbuatannya.

Lalu bagaimana denganku? Masih pantaskah disebut beriman jika aku merasa bebas atas diriku saat sendiri? Bukankah aku harusnya menganggap bahwa diri ini adalah sarana untuk menuju-Nya dan ini hanyalah kerangka fisik titipan Tuhan? Lantas mengapa aku merasa bebas dan berkuasa atas diriku sendiri?

Entah. Agaknya ini rumit.

Pada akhirnya pun, pikiranku kerap bertabrakan satu sama lain.
Seperti tesis dan antithesis yang Hegel bilang. Namun sayangnya, dalam hal ini belum ada sintesa yang kutemukan. Masih belum.

Mungkin sebenarnya ada, hanya terlalu malas aku mencarinya. Sehingga rasanya aku tak mampu menangkap cahaya-cahaya kebenaran dalam diri, untuk diri.
Mungkin esok, atau lain hari. Aku bisa menjemput kebenaran-kebenaran titipan Tuhan. Entah di sini, di sana, atau di mana pun. Semoga saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL ACCURATE TEORI 2015 - ANHS

1.       Yang bukan software akuntansi adalah ... A.     DacEasy Accounting B.      MYOB Accounting C.     Accurate D.    Ms.Paint E.     Zahir Acc 2.       Accurate adalah software akuntansi yang dibuat dari negara... A.     Irlandia B.      Canada C.     Australia D.    Indonesia E.     Amerika 3.       CPSSoft adalah Kepanjangan dari.. A.    Cipta Piranti Sejahtera B.      Cipta Perusahaan Sejahtera C.     Cipta Perusahaan Software D.    Cipta Piranti Software E.     Cempaka Piranti Sejahtera 4.       Eksistensi file dari program software komputer akuntansi Accurate adalah... A.     GB B.    ...

Pidato - Persahabatan

Assalamualaikum wr.wb. Teman teman yang saya cintai, marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat masih bernafas pada hari ini. Pidato saya hari ini mengangkat tema “PERSAHABATAN”. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa persahabatan itu di jalin oleh dua orang atau lebih. Persahabatan juga bisa diartikan suatu ikatan/jalinan/hubungan yang dijalin oleh dua orang atau lebih yang membuat yang menjalaninya semakin dekat satu sama lain. Layaknya hidup, persahabatan tidak selalu indah dan menyenangkan. Ada kalanya suatu hubungan persahabatan di uji oleh Allah dan ujian yang di berikan Allah bermacam-macam dan sesuai dengan kemampuan hambanya. Ada ujian yang ringan dan ada ujian yang berat. Sengaja Allah memberikan ujian karena Allah punya maksud baik dibalik itu. Maka bersabarlah dalam mengalami setiap ujian dan cobaan yang diberikan Allah kepada kita. Sebelum saya mengakhiri ...

Fa Man Ya’mal Mitsqala Dzarrah Khayr Yarah (kisah)

Dua malaikat berjumpa dilangit keempat. Maka berkatalah salah satu di antara mereka kepada salah satu yang lain “kemana kau akan pergi?” temannya menjawab “Untuk suatu keperluan yang aneh, yaitu bahwa dinegeri anu ada seorang yahudi yang telah dekat ajalnya. Ia ingin sekali makan ikan, padahal di laut mereka tidak ada ikan seekor pun. Maka Allah memerintahkan kepadaku supaya menghalau ikan-ikan ke tempat itu, agar mereka dapat menangkapnya. Hal ini disebabkan amal baik orang itu, Allah segera membalasnya di dunia. Nah, pada saat itu masih tinggal satu amal baik nya yang belum dibalas, karena itulah Allah mengabulkan keinginannya untuk makan ikan, supaya ia keluar dari dunia tanpa membawa amal baik sedikitpun. Malaikat pertama tadi berkata: “Aku pun diutus Allah untuk suatu urusan yang aneh juga. Yaitu bahwa di negeri anu, tinggal seorang lelaki yang saleh, setiap perbuatan jahat yang dikerjakannya, Allah segera membalasnya di dunia. Ketika ajalnya sudah dekat, orang itu mengin...