Malam ini, cuaca tak terlalu dingin ataupun panas. Berbeda
dengan biasanya, daerah Priok memang bagai sebuah kewajiban kalau rada ‘gerah’.
Sudah sekitar pukul 00.15 dan aku masih sibuk dengan
laptopku. Hari yang berganti ini memang tak asing, bukan karena sekarang adalan
senin – minggu. Melainkan, aku paham betul bahwa hari ini bertepatan dengan
tanggal kelahiran seseorang yang menjadi tonggak keluargaku.
Ialah ayah. Seorang laki-laki yang seharusnya paling ku
hormati di antara keluargaku.
Aku masih belum mengucapkan apa pun kepada ayah pada menit
ini. Bahkan aku tak menyiapkan hadiah untuknya.
Aku sadar bahwa tak seharusnya malu untuk sekedar
mengucapkan do’a secara langsung di depan ayah. Tak ada salahnya, apalagi ini
adalah hari spesialnya.
Seketika aku teringat akan batas umur ayah, yang entah akan
benar-benar terjadi atau tidak. Namun harapku, semoga ayah bisa di sini lebih
lama. Bersamaku, bersama ibu, dan kedua adikku.
Kira-kira pukul 00.19, aku menghampiri ayah yang sedang
duduk di depan pintu --tanpa mengenakan baju. Aku merangkul ayah dari belakang
dan mengucapkan do’aku padanya. Kucium kedua pipi dan juga dahinya, sebagai
bentuk sayangku untuknya. Aku sangat senang bisa melakukan itu dengan tutur
kata dan sifat yang halus. Tidak seperti biasanya aku bersikap; jutek, judes
atau ketus –mungkin.
Rasanya lega sekali, aku. Ingin selamanya bisa berbuat baik
kepada ayah atau pun ibu.
Selagi mereka masih di sini, selagi semua sama-sama di sini.
Pada akhirnya, aku pun menyadari betapa sakral sebuah komunikasi.
Betapa berharganya sebuah absensi. Utamanya pada mereka, keluargaku.
Baik atau buruk, memang kerap terjadi dan akan terus begitu
selama raga dan jiwaku masih di bumi. Takkan pernah selesai untuk belajar
‘sabar’. Selalu, dan akan selalu ada ujian dengan berbagai tingkatannya.
Keluargaku, sebuah anugerah paling tinggi sekaligus ujian
paling abadi di sini.
Komentar
Posting Komentar